Ketua KY Prof. DR. Mukti Fajar ND, SH,M.Hum, Dikukuhkan Menjadi Guru Besar UMY, Sampaikan Orasi Ilmiah Terkait Persoalan Hukum di Era Sharing Economy -->
AYO IKUTI PROTOKOL KESEHATAN - CEGAH PENYEBARAN COVID-19 DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

Iklan

Ketua KY Prof. DR. Mukti Fajar ND, SH,M.Hum, Dikukuhkan Menjadi Guru Besar UMY, Sampaikan Orasi Ilmiah Terkait Persoalan Hukum di Era Sharing Economy

Kamis, 26 Mei 2022



Jakarta-Sumutpos.id
:Ketua Komisi Yudisial (KY) Prof DR.  Mukti Fajar Nur Dewata,  SH, MHum, dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Dalam pengukuhan itu sekaligus menyampaikan orasi ilmiah berjudul Hukum dan Kesejahteraan Konsep Regulasi di Era Sharing Economy. Fajar mengatakan, bahwa di tengah kemajuan teknologi, sistem pasar bebas sangat berkembang pesat dengan hadirnya revolusi teknologi 4.0 yang telah melahirkan sistem sharing economy. Hal tersebut membuat persoalan baru dalam regulasi hukum dan kesejahteraan masyarakat.

Lanjutnya, terdapat beberapa persoalan hukum yang berhadapan dengan sistem sharing economy yang disruptif, diantaranya adalah persaingan yang tidak sehat bagi pelaku usaha dengan cara tidak jujur dan melanggar hukum.

Di tengah kemajuan teknologi sistem pasar bebas berkembang cepat lewat hadirnya revolusi 4.0 yang telah melahirkan sistem sharing economy. Hal tersebut membuat persoalan baru dalam regulasi hukum dan kesejahteraan masyarakat.


Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Mukti Fajar, saat Orasi Ilmiah Guru Besar di Sportorium UMY. Acara mengusung tema Hukum dan Kesejahteraan: Konsep Regulasi di Era Sharing Economy.

Dosen Ilmu Hukum UMY ini menilai, ada beberapa persoalan hukum yang berhadapan dengan sistem sharing economy yang disruptif. Antara lain persaingan yang tidak sehat bagi pelaku-pelaku usaha dengan cara tidak jujur dan melanggar hukum.

Misal, dalam kasus transportasi online, pemerintah mengeluarkan lima Permenhub. Namun, kelimanya dianggap belum mampu secara tepat mengatur, bahkan kalah ketika di Judicial Review (JR) karena menghambat masuknya pelaku usaha dalam pasar.

"Sehingga, peraturan yang diatur terhadap sharing economy dalam sektor transportasi misalnya, merupakan kebijakan berbasis incremental dan trial error," kata Mukti, Rabu (25/5).


Ketua Komisi Yudisial ini melihat, adanya sharing economy mengubah hukum seakan kehilangan normatif mengatur inovasi yang melesat dan mengacaukan ekonomi pasar. Karenanya, dari perspektif teori hukum dan pembangunan perlu kondisi stability.

Hukum harus mampu menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan yang saling bersaing dan predictability. Hukum yang prediktif sangat diperlukan negara yang masyarakatnya membangun hubungan ekonomi. Harus ada kejelasan arah kebijakan.

"Membuat pelaku usaha menjadi tidak nyaman dalam berinvestasi," ujar Mukti. Ada beberapa indikasi permasalahan hukum dari sistem sharing economy.

Antara lain kepemilikan sumber daya (resources ownership) yang sering kali laten,  hubungan ketenagakerjaan (workforce), dan pertanggungjawaban para pihak. Dosen Hukum Bisnis UMY ini menekankan, masalah hukum dari luar sistem sharing economy sangat beragam.
Yakni, keamanan dan perlindungan konsumen, prosedur administratif, hak atas kekayaan intelektual, perpajakan, dan hukum lingkungan. "Untuk menjaga persaingan agar berjalan fair, diperlukan hukum persaingan usaha yang menjaga agar pasar tetap bebas, tidak terjadi kecurangan dan pengendalian sekelompok pelaku usaha," kata Mukti.
Persaingan bisnis di era sharing economy, untuk menuju kesejahteraan masyarakat dapat dicapai jika regulasi hukum tidak menjadi hambatan. Caranya, meminimalisir berbagai prosedur perizinan dan persyaratan yang menimbulkan tambahan biaya.

"Oleh karena itu, prosedur hukum tidak boleh bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam membuat kebijakan," ujar Mukti.
Terkait persoalan di tengah era sharing economy, ia merasa, perlu ada otorisasi hukum yang dikonstruksi. Era sharing economy tidak menempatkan kekuatan pemilik modal untuk mengendalikan pasar, sehingga perlu adanya gagasan self regulation.
"Untuk mengatur sharing economy sebagai alternatif solusi dari kekacauan norma yang datang dari otoritas pemerintah," kata Mukti.
Gagasan ini dilihat dari kedudukan pemerintah dalam persaingan bebas perlu jadi penjaga dan penegak hukum ketika terjadi kecurangan dan persaingan tidak sehat. Mencegah praktik monopolistik, memberikan perlindungan, dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Hadirnya 4.0 dengan kekacauan persaingan bisnisnya perlu terobosan hukum. Hukum bisnis harus didesain pragmatis agar mengawal perubahan model bisnis yang cepat berubah dan perlu pergeseran otoritas regulator dari pemerintah ke pelaku usaha.

"Memberi hak untuk membuat self regulation sebagai peraturan yang lahir dari kesepakatan pelaku usaha sendiri. Hal itu lebih efektif menjaga persaingan yang adil dan pasar semakin dinamis, sehingga masyarakat sebagai konsumen akan banyak diuntungkan," ujarnya.(Red-SP.ID/SS)