(Image/Gambar) : Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta. S Pane
Jakarta - Sumutpos.id : Kasus dugaan pemerasan Rp 1,5 miliar yang dilakukan oknum penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Polri terhadap Walikota Tanjung Balai tidak hanya memalukan, tapi juga menjadi fenomena baru bahwa ada dekadensi moral dikalangan oknum lembaga antirasuah tersebut.
Hal itu dikatakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane dalam pers rilisnya kepada awak media, Rabu (21/4/2021) di Jakarta.
“Ind Police Watch (IPW) mengecam keras kasus ini. Bagaimana pun, kasus dugaan pemerasan ini tidak boleh ditolerir. Jika terbukti pelakunya harus dijatuhi hukuman mati,” tegasnya.
Sebab, kata Neta, apa yang dilakukan oknum polisi SR berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) itu membuat kepercayaan publik pada KPK menjadi runtuh.
“Padahal, selama ini harapan publik satu satunya dalam pemberantasan korupsi hanyalah KPK. Sedangkan pada Polri maupun Kejaksaan, publik sudah kehilangan kepercayaan,” imbuhnya.
Namun, sambungnya, dengan adanya kasus dugaan pemerasan terhadap Walikota Tanjung Balai ini publik pun akan dengan gampang menuding bahwa KPK tak ada bedanya dengan oknum polisi maupun kejaksaan.
“Kalau opini ini berkembang luas dikhawatirkan akan muncul gugatan publik yakni, untuk apa lembaga KPK dipertahankan,” tambahnya.
Untungnya, lanjut Neta, dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Walikota Tanjung Balai M Syahrial ini, KPK bekerja cepat. Bersama Propam Polri, KPK menangkap penyidik berinisial AKP SR yang diduga melakukan pemerasan itu.
“Dalam kasus ini IPW menekankan KPK jangan hanya sekadar memastikan proses hukum terhadap penyidik yang berasal dari Polri yang diduga memeras itu. Lebih dari itu hukuman mati harus diarahkan kepada ybs, mengingat ybs sudah merusak kepercayaan publik pada KPK,” tegas dia.
Neta mengatakan, IPW berharap, dalam kasus ini KPK tidak sekadar memegang prinsip zero tolerance terhadap personilnya yg brengsek. Lebih dari itu, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi para pimpinan maupun Dewas KPK untuk mengevaluasi sistem rekrutmen personilnya, terutama rekrutmen untuk para penyidik. Tujuannya agar “citra seram” KPK tidak digunakan untuk menakut nakuti dan memeras para pejabat di daerah maupun pusat.
“Jika selama ini para terduga korupsi atau tersangka dikenakan rompi oranye dan dipajang KPK di depan media massa, IPW mendesak terduga pemerasan terhadap Walikota Tanjung Balai itu juga dikenakan rompi oranye dan dipajang di depan media massa. Agar publik tahu persis penyidik KPK yang diduga menjadi pemeras tersebut,” tegasnya.
Neta menegaskan, kejahatan yang diduga dilakukan penyidik KPK itu lebih berat dari korupsi yang dilakukan para koruptor. Sebab dia sudah meruntuhkan harapan publik pada KPK.
“Jika para elit KPK dengan meyakinkan bahwa mereka tidak akan mentolerir penyimpangan dan memastikan akan menindak pelaku korupsi tanpa pandang bulu, IPW juga berharap KPK jangan menyembunyikan dan melindungi penyidiknya yang diduga melakukan pemerasan. Sehingga tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak memakaikan rompi oranye dan memajangnya di depan media massa,” jelasnya. (Red-SP.ID/MDN)