Simalungun - Sumutpos.id :
Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Derman P. Nababan mengatakan “Hukum haruslah menjadi Panglima, sebab negara kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan”. Hal itu ditegaskannya mengawali ceramah di hadapan puluhan peserta Pelatihan Hukum Kritis (Pokrol), para petani dan masyarakat hukum adat, yang diprakarsai oleh Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Jumat, 23/04 bertempat di Sopo KSPPM Parapat.
Lebih lanjut, mantan Ketua PN Muara Bulian itu mengatakan bahwa hukum pidana terdiri dari inihukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang (kejahatan) dan ancaman hukuman terhadap pelaku, dalam pidana umum diatur dalam KUHP. Sementara itu, hukum pidana formil mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan dan menegakkan hukum pidana materil tersebut, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Suatu perbuatan dapat dipidana harus diatur terlebih dahulu dalam undang-undang, berdasarkan asas legalitas. Tiada perbuatan dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam UU, yang dikenal dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”, tegas anak petani miskin dari Desa Lumban Tongatonga, Kecamatan Siborongborong tersebut.
“Persoalan hukum pidana yang sering dihadapi masyarakat desa, tidak terlepas dari konflik tenurial (pertanahan). Pengancaman dalam Pasal 335 KUHP misalnya, sering disangkakan kepada seseorang yang berusaha mempertahankan haknya atas sebidang tanah. Demikian Pasal 385 KUHP, yang disebut dengan stellionat, menjadi senjata pamungkas bagi pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, apabila tanah tersebut dialihkan tersangka kepada pihak lain”, ujar penulis buku Terbanglah Rajawaliku, Kisah Inspiratif Seorang Cleaning Service Menjadi Ketua Pengadilan Negeri ini menambahkan.
“Selain itu pengrusakan dalam Pasal 406 KUHP, kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama di muka umum dalam Pasal 170 KUHP, kerap terjadi sebagai akibat konflik kepemilikan lahan. Memindahkan batas pekarangan sebagaimana pasal 389 KUHP, juga sering ditemukan” lanjutnya.
Selain aturan dalam KUHP, terdapat berbagai aturan hukum lain yang mengatur ketentuan pidana. Misalnya, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Uu Nomor 41 Tahun 1999 jo. No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan & Perlindungan Perusakan Hutan, Uu No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup, Uu Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil, dan Peperpu No. 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yg Berhak Atau Kuasanya” terang alumni Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan itu.
Hukum Acara Pidana, Alat Menegakkan Hukum Pidana Materil
Pada kesempatan ini Derman P. Nababan, yang meniti karir sebagai cleaning service di PTUN Medan tahun 1993 itu lebih lanjut menegaskan, “Hukum pidana formil (KUHAP), yaitu kumpulan peraturan yang berisi tata cara bagaimana menghukum perbuatan yang dapat dihukum tadi. Untuk itu ada beberapa asas penting, misalnya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence), untuk menghindari adanya main hakim sendiri (eigenrichting). Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, dan perlakukan yang sama di hadapan hukum. Untuk menangkap seseorang dan menjadikannya sebagai tersangka harus ditemukan bukti permulaan yang cukup. Setiap tersangka mempunyai hak, misalnya untuk didampingi oleh penasihat hukum”.
Alumni Magister Hukum UMSU Medan itu lebih jauh menjelaskan, “Sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP, yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Dalam prakteknya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, diperoleh dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Bukti itu diperlukan untuk menghindari adanya kriminalisasi terhadap seseorang.
Ketika seseorang ditetapkan tersangka, ditangkap tanpa adanya bukti permulaan yang cukup, maka lembaga Pra peradilan dapat ditempuh untuk mempermasalahkan sah atau tidaknya penetapan tersangkan dan penangkapan tersebut.
Di akhir pemaparannya mantan Wakit Ketua PN Subang, Jawa Barat itu menyampaikan, “sesuai Pasal 183 KUHAP, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sekalipun ditemukan dua alat bukti yang sah, namun Hakim tidak yakin terdakwa sebagai pelakunya, maka ia harus dibebaskan (vrijsvraak). Sedangkan, jika perbuatan itu terbukti tetapi hakim menilai hal itu bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).
Para peserta tampak sangat antusias. Terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan, terkait dengan persoalan hukum yang sering terjadi di tengah masyarakat, bagaimana prosedur penanganannya, hingga bergulir ke pengadilan.
Peserta pelatihan merupakan warga dampingan KSPPM yang berasal dari berbagai Kabupaten, seperti: Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba dan Samosir.
Bertindak sebagai Moderator Kristina Sitanggang, SH. Yang membuat situasi makin semarak karena Ketua PN Siantar memberikan hadiah berupa buku Terbanglah Rajawaliku, hasil karyanya bagi tiga orang peserta, demikian informasi dari Rahmat Hasibuan SH, Humas PN Pematangsiantar.
(Red-SP.ID/NM)