By : (Lemens Kodongan)
Jakarta, Sumutpos.Id : Industri media di seluruh dunia telah mengalami perubahan besar pada masa dekade terakhir. Di Indonesia, stigma sebagai pilar keempat demokrasi terhadap komunitas pers lambat laun juga mengalami degradasi (kemunduran, kemerosotan, penurunan, dan sebagainya (tentang mutu, moral, pangkat, dan sebagainya).
Pers perjuangan yang awalnya dihiasi dengan sajian berita yang heroik, kritis dan progresif revolusioner berubah seiring perubahan zaman. Pers saat ini tidak lagidi dominasi oleh pemilik modal besar yang juga berprofesi ganda sebagai politikus.
Penguasaan industri pers oleh kaum Taipan yang mendonimasi penerbitan koran akhirnya bertumbangan satu-persatu dan digantikan dengan media berbasis digital (online). Undang-undang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bisa mendirikan perusahaan media akhirnya berbondong-bondong menjadi pesaing bagi media mainstreaming tersebut.
Hilangnya kepercayaan terhadap pemberitaan yang disajikan oleh media mainstreaming telah membuat sebagian masyarakat dan organisasi akhirnya mengambil jalan memproduksi sendiri berita melalui berbagai media, media sosial (medsos) dan media online streaming. Kemudahan tersebut karena ditunjang dengan berbagai aplikasi seperti Youtube, Tiktok dan Situs berita.
Sementara itu, konsep negara modern saat ini tidak lagi bertumpu hanya pada tiga pilar atau trias politika (eksekutif, legilatif, dan yudikatif). Pers menjadi sebuah tiang penopang yang melengkapi tiga pilar tersebut. Dari sejarah kita banyak belajar bahwa ketika trias politika saling ‘berselingkuh’ satu sama lain, salah satu unsur bangsa yang paling ampuh membubarkan perselingkuhan tersebut adalah pers yang benar dan berpihak kepada rakyat.
Dalam hal ini pers kemudian berperan menjadi watchdog (anjing penjaga) masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol kerja para penguasa. Ujung tombak dari misi mulia pers ini adalah wartawan. Wartawan adalah profesi yang terhormat.
Profesi ini menuntut pengetahuan dan keahlian dalam melaksanakan tugasnya sehingga produk yang dihasilkan disebut sebagai produk intelektual, sebab tanpa memiliki pengetahuan dan keahlian tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pers dan jurnalistik, ia tidak akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Profesionalisme wartawan sebagaimana tuntutan masyarakat terhadap lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk bekerja dengan baik dan benar. Tuntutan yang sama juga harus disematkan kepada lembaga pers yang mana hal ini direpresentasikan oleh wartawan.
Wartawan harus profesional. Profesionalisme wartawan sangat dituntut karena wartawan yang merupakan aktor utama lembaga pers ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik melalui informasi, selain itu wartawan memiliki serangkaian hak istimewa dalam menjalankan profesinya.
Profesionalisme wartawan memiliki tiga arti yaitu: (1) profesional adalah kebalikan dari amatir; (2) sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; dan (3) norma-norma yang mengatur perilakunya fokus pada kepentingan khalayak.
Selanjutnya terdapat dua norma yang diidentifikasikan, yaitu: (1) norma teknis (keharusan menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting, dsb.); dan (2) norma etis (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggung jawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif, yang semuanya harus tercermin dalam produk penulisannya).
Tuntutan profesionalisme yang tinggi pada diri wartawan akan menimbulkan pada dirinya sikap menghormati martabat setiap individu dan hak-hak pribadi warga masyarakat yang diliputnya. Demikian pula sebaliknya, seorang wartawan akan dapat menjaga martabatnya sendiri karena hanya dengan cara itu ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional.
Untuk mencapai hal ini, wartawan perlu memiliki kedewasaan pandangan dan kematangan pikiran. Wartawan harus memiliki landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan rasa tanggung jawab atas perkembangan budaya masyarakat di mana wartawan itu bekerja. Oleh karena itulah disusun etika pers atau kode etik jurnalistik. Kode etik ini merupakan bimbingan moral dan pedoman kerja para wartawan.
Rumusannya merupakan prinsip-prinsip dan cita-cita ideal yang tinggi. Profesionalisme wartawan diukur dari kepatuhannya mengikuti kode etik. Ketua Dewan Pers, Atmakusumah dalam makalah Pers Mencari Kebenaran (2003) menulis “Tanggung jawab wartawan adalah kepada hati nuraninya sendiri, selain kepada hukum – dan terutama – kepada pembaca, pendengar, serta penonton media masing-masing”.
Apa yang seharusnya diketahui wartawan dan diharapkan publik, peran besar wartawan sebagai pengumpul dan pengelola informasi tentu saja sangat berarti bagi masyarakat, sebaliknya masyarakat juga berhak mengawasi, menilai dan bahkan mengkritisi kinerja wartawan agar apa yang disajikan oleh wartawan adalah sesuatu yang benar, berkualitas dan bermanfaat.
Agar keseimbangan ini bisa berlangsung secara efektif ada sembilan prinsip jurnalisme yang wajib dipahami oleh publik dan harus dilakukan oleh wartawan. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis sembilan prinsip ini dalam bukunya “The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect’ (2001). Sembilan prinsip jurnalisme ini disimpulkan setelah Kovach dan Rosenstiel melalui Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
- Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Jurnalisme di sini bukan fokus pada mengejar kebenaran dalam pengertian yang absolut atau filosofis, tetapi harus bisa mengejar kebenaran dalam pengertian yang praktis. Kebenaran jurnalistik ini adalah suatu kebenaran yang dibangun di atas pondasi verifikasi, transparansi dan akurasi informasi.
- Loyalitas utama jurnalisme kepada masyarakat. Wartawan harus memelihara kesetiaan kepada masyarakat dan kepentingan publik yang luas di atas yang lainnya. Media harus dapat mengatakan dan menjamin kepada khalayak bahwa informasinya tidak diarahkan demi kawan, pemasang iklan atau arah politik tertentu.
- Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Disiplin verifikasi dalam jurnalisme sebuah garis tegas yang membedakannya dengan bentuk komunikasi yang lain seperti propaganda, fiksi atau kampanye politik. Disiplin profesional wartawan menuntut untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang akan disebarluaskan.
- Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. Landasan kepercayaan publik terhadap wartawan adalah kebebasan. Bukan hanya netralitas, tetapi juga kebebasan pikiran dan jiwa adalah prinsip yang harus dijaga oleh wartawan.
- Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Prinsip ini menekankan wartawan untuk tidak ikut dalam pusaran cerita yang dia tulis. Wartawan adalah penjaga, penonton cerdas yang menulis apa saja yang terjadi dalam masyarakat, tidak terlibat dan menjadi bagian dari cerita.
- Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik. Diskusi publik ini bisa melayani masyarakat dengan baik jika mereka mendapatkan informasi berdasarkan fakta, dan bukan atas dugaan atau prasangka.
- Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. Wartawan menulis untuk sebuah tujuan (story telling with a purpose). Kualitasnya diukur dari sejauh mana karya jurnalistiknya melibatkan khalayak dan mencerdaskannya.
- Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Di sini kita memandang jurnalisme sebagai sebuah bentuk kartografi. Ia menciptakan sebuah peta bagi masyarakat untuk menentukan arah kehidupan. Berita harus dijaga agar tetap proporsional. Menggelembungkan peristiwa demi sensasi, mengabaikan sisi-sisi berita yang lain, sikap stereotip atau bersikap negatif secara tidak adil akan membuat peta kurang dapat diandalkan.
- Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka. Setiap jurnalis harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Dari uraian ini kita bisa melihat bahwa pemahaman yang tepat dalam melihat bagaimana selayaknya seorang wartawan yang ideal bisa menjadi alat ukur bagi masyarakat untuk menilai dan mengontrol kinerja pekerja media. Bagi wartawan, pemahaman yang tepat dalam melihat posisi dirinya sebagai wartawan yang (harusnya) ideal akan bisa membawa manfaat yang luar biasa bagi masyarakat.
Jika kedua hal ini telah berlangsung, maka stigma negatif masyarakat tentang “wartawan amplop” atau “wartawan bodrex” atau “wartawan muntaber” akan hilang dengan sendirinya dan berganti dengan sosok wartawan bermartabat dan berwibawa.
(Jakarta-tv.com/Red-SP.ID)