Jelang HGU Berakhir, Sederet Preseden Buruk PTPN IV Kebun Bahjambi Mengemuka: Dari Konflik Lahan hingga Tragedi Kemanusiaan Menjelang berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IV Kebun Bahjambi pada tahun 2026, berbagai catatan kelam kembali mencuat. Kasus kematian warga, konflik agraria, hingga dugaan praktik perusakan lingkungan menimbulkan pertanyaan besar: apakah perusahaan ini masih layak memperpanjang izinnya? -->
AYO IKUTI PROTOKOL KESEHATAN - CEGAH PENYEBARAN COVID-19 DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

Pengikut


Iklan

Jelang HGU Berakhir, Sederet Preseden Buruk PTPN IV Kebun Bahjambi Mengemuka: Dari Konflik Lahan hingga Tragedi Kemanusiaan Menjelang berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IV Kebun Bahjambi pada tahun 2026, berbagai catatan kelam kembali mencuat. Kasus kematian warga, konflik agraria, hingga dugaan praktik perusakan lingkungan menimbulkan pertanyaan besar: apakah perusahaan ini masih layak memperpanjang izinnya?

Selasa, 21 Oktober 2025






Simalungun.sumutpos.id — PTPN IV Kebun Bahjambi, salah satu unit perkebunan besar di bawah naungan Holding PalmCo, kini menjadi sorotan tajam publik dan media. Menjelang berakhirnya masa HGU pada 2026, sederet preseden buruk kembali menyeruak ke permukaan. Mulai dari tragedi kemanusiaan, konflik lahan berkepanjangan, kerusakan lingkungan, hingga dugaan arogansi manajemen terhadap masyarakat.




Tragedi Kemanusiaan: Dugaan Sewa Blok dan Kematian Warga


Kasus tragis meninggalnya Boni, warga Huta Korem, Nagori Mekar Bahala, Kecamatan Jawa Maraja Bahjambi, menjadi babak kelam yang sulit dilupakan masyarakat. Boni diduga menjadi korban penganiayaan setelah tertangkap tangan mengambil buah sawit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang tengah hamil tua.




Investigasi yang dilakukan Sinar Global Nusantara (SGN) mengungkap adanya dugaan praktik sewa blok di Afdeling II dengan bukti transfer uang antara pelaku pencurian sawit dan pekerja PKWT yang diperbantukan menjadi Pamswakarsa oleh pihak manajemen.

Lebih jauh, ditemukan pula fakta bahwa petugas keamanan tambahan (Pamswakarsa) tersebut tidak pernah mendapatkan pelatihan resmi dari aparat kepolisian, sehingga tindakan mereka di lapangan sering di luar batas kewenangan.


Ironisnya, pihak manajemen PTPN IV Bahjambi — termasuk Manajer M. Reza Haris Siregar dan Asisten Kepala Rahmad — enggan memberikan klarifikasi meskipun telah dikonfirmasi berkali-kali oleh media.


Konflik Lahan yang Tak Pernah Usai


Konflik agraria juga menjadi noda lama yang belum terselesaikan. PTPN IV Kebun Bahjambi terlibat sengketa dengan masyarakat Nagori Mariah Jambi atas lahan seluas 200 hektar yang diklaim masyarakat berdasarkan SK Bupati No. 1/II/10/LR/68 tertanggal 14 September 1968.

Sementara perusahaan bersikukuh bahwa lahan tersebut termasuk dalam wilayah HGU Afdeling II.


Bentrokan besar sempat terjadi pada tahun 2023, menyebabkan dua pelajar luka-luka akibat kekerasan saat aksi protes warga.

Konflik serupa juga terjadi di Nagori Moho, di mana warga menuduh pihak perkebunan meracuni ternak mereka, hingga puluhan hewan mati mendadak. Insiden itu memicu aksi demonstrasi besar pada 14 September 2021.


Kerusakan Alam dan Dugaan Pembiaran Galian C Ilegal


Selain konflik sosial, PTPN IV Bahjambi juga dituding berperan dalam kerusakan lingkungan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bah Bolon.

Investigasi lapangan menemukan aktivitas Galian C ilegal di wilayah Afdeling I, yang diduga mendapat “restu” dari oknum manajemen kebun. Akses menuju lokasi tambang hanya dapat dilalui melalui jalan milik perusahaan.


Hasil pantauan menunjukkan ratusan meter DAS telah rusak parah. Batu padas dari palung sungai dibabat habis, meninggalkan cekungan seperti danau buatan.

Meski sempat ditutup pasca pemberitaan SGN, kondisi kerusakan yang sudah terjadi dikhawatirkan mengancam keberlangsungan ekosistem sungai dan meningkatkan risiko banjir di masa depan.


Arogansi Manajemen dan Luka Sosial Masyarakat


Kasus lain yang memicu kemarahan publik terjadi 5 Maret 2024, ketika dua lansia warga Nagori Moho ditangkap karena mengambil sapu lidi di areal Afdeling II.

Kedua lansia itu sempat digiring ke kantor kebun, kemudian dilaporkan ke Polsek Tanah Jawa. Namun pihak kepolisian menolak laporan tersebut dengan alasan kemanusiaan.


Kompol Manson Nainggolan, saat itu menjabat sebagai perwira Polres Simalungun, menegaskan bahwa tindakan hukum terhadap lansia tidak memenuhi unsur pidana, serta mengingatkan pentingnya asas kemanfaatan dalam penegakan hukum.


Namun, kasus itu hanya salah satu dari banyak contoh hubungan buruk antara manajemen dan masyarakat. Beberapa warga, termasuk anak di bawah umur, dilaporkan pernah diserahkan ke polisi hanya karena mengambil brondolan sawit seberat beberapa kilogram — tanpa adanya upaya pembinaan atau mediasi.


Ironisnya, hasil investigasi wartawan pada 16 Agustus 2025 justru menemukan ratusan kilogram brondolan sawit yang dibiarkan membusuk di area panen Afdeling II, menunjukkan lemahnya sistem produksi dan ketidakkonsistenan kebijakan manajemen.


Minimnya Kontribusi Sosial dan CSR Tak Tepat Sasaran


Di sisi lain, kontribusi sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar juga dinilai minim. Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dijalankan seringkali hanya bersifat seremonial dan tidak berkelanjutan.

Masyarakat menilai bantuan dari pihak perusahaan tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga di sekitar kebun.


Momentum Evaluasi dan Perubahan


Menjelang berakhirnya masa HGU pada tahun 2026, publik menilai saat inilah momentum tepat bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja PTPN IV Kebun Bahjambi.

Beragam catatan kelam yang telah terjadi selama ini harus menjadi bahan pertimbangan serius sebelum izin HGU kembali diperpanjang.


Langkah tegas pemerintah daerah dan pusat diharapkan dapat menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Simalungun — serta memastikan keberlanjutan lingkungan hidup yang selama ini menjadi korban praktik keliru di lapangan.


Sumber: Media Sinar Global Nusantara / S.P Blangkon

Editor: Dedi Sinaga