(Image/Gambar): Illustrasi Pembangunan Infrastruktur di Negeri ini seharusnya bisa dijalankan tanpa menggunakan Utang Luar Negeri. |
Bandung, Sumutpos.id : Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bandung, Agus Nuria mengatakan program-program 2020 banyak yang tidak bisa dilaksanakan alias ditangguhkan karena adanya kebijakan refocusing anggaran, dampak dari pandemi Covid 19.
Contoh program yang tidak bisa mencapai target di tahun 2020 adalah jalan mantap. Dimana target awalnya yaitu harus mencapai 90 persen tapi hanya bisa tercapai 86 persen.
Artinya ada empat persen lagi yang masih belum tercapai. “Kalau mantap kan kondisi baik dan sedang. Kalau yang baik harus dipertahankan terus, bukan berarti di biarkan. Kemudian yang kondisinya masih tidak baik, tentunya harus ditingkatkan menjadi baik,” tutur Agus.
Menurut Agus, meski memiliki program yang bagus tapi jika tidak didukung dengan anggaran, maka program tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apalagi jika berbicara mengenai program pembangunan fisik atau infrastruktur.
“Saya berharap, ditahun 2021 ini kita coba menyelesaikan PR kami terkait infrastruktur yang ditangguhkan. Ditahun 2022, mudah-mudahan normal kembali situasinya,” tutup Agus.
Seiring dengan itu, anggaran yang harus dikeluarkan untuk pembangunan ini juga sangat besar. Pembangunan jor-joran tentu membutuhkan dana yang jor-joran juga.
Pemerintah terus membuka diri untuk investasi asing dalam pembangunan. Pemerintah juga terus menambah utang baik dalam bentuk penjualan Surat Berharga Negara maupun dalam bentuk utang luar negeri.
Bahkan pemerintah tidak segan menggunakan dana haji milik umat dan dana BPJS untuk dijadikan modal dalam pembangunan.
Seharusnya pemerintah fokus pada penanggulangan covid-19 dulu karena hari ini masyarakat tidak butuh infrastruktur tapi butuh perlindungan dari wabah covid-19.
Ditambah hilangnya status infrsatruktur sebagai fasilitas umum. Berganti menjadi jasa komersil. Rakyat harus membayar fasilitas tersebut dengan harga yang mahal.
Sebagai contoh, jalan tol yang seharusnya merupakan fasilitas umum, karena dibangun oleh investor, maka rakyat harus membayar tarif tol dengan harga yang mahal.
Alasannya, karena jalan ini telah menjadi barang komersil. Bukan lagi fasilitas umum yang disediakan negara bagi rakyatnya.
Jika fasilitas umum seperti jalan tol sudah berubah menjadi barang komersil, otomatis akan memicu kenaikan harga. Dan menyumbang inflasi di negeri ini.
Rakyat bukan hanya tidak bisa menikmati infrastruktur tersebut namun juga akan terpukul oleh dampak lanjutannya berupa inflasi.
Inflasi jelas akan membahayakan pertumbuhan ekonomi negeri. Pembangunan infrastruktur negeri ini sebenarnya untuk siapa? Jika pembangunan adalah benar untuk rakyat, maka seharusnya rakyat bisa menikmatinya secara gratis, atau kalaupun harus membayar, minimal bisa membayar dengan harga murah dan relatif terjangkau oleh masyarakat di Negeri ini.
Tentu rakyat seharusnya tidak perlu terbebani untuk membayar utang negara melalui berbagai pajak dan tarif.
Realitasnya, Menkeu Sri Mulyani berhitung, setiap masyarakat di Indonesia memiliki utang sebesar US$997 per kepala atau sekitar Rp13 juta.
Siapa sebenarnya yang bersalah? Infrastruktur sebenarnya bisa dibangun tanpa utang, jika sumber daya alam negeri ini kembali pada pemiliknya, yaitu rakyat negeri ini. Bukan dikuasai oleh asing.
Bukankah Sumber daya alam negeri ini berlimpah? Bahkan potensi ekonomi umat pun cukup besar. Sebaliknya, Khalifah pun mencintai rakyatnya.
Membangun infrastruktur adalah untuk memudahkan rakyatnya. Sebagai bentuk ri’ayah (mengurus) urusan masyarakat.
Sebagai bentuk tanggung jawab pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Bukan untuk tujuan komersil.
Wallahu'alam bisshowab. (Red-SP.ID/Fina Fauziah-Mahasiswa Bandung)