Dituntut 4 Bl Penjara Kurpan Sinaga, SH Merasa Dizolimi Oleh Serumpun Kekuasaan -->
AYO IKUTI PROTOKOL KESEHATAN - CEGAH PENYEBARAN COVID-19 DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

Iklan

Dituntut 4 Bl Penjara Kurpan Sinaga, SH Merasa Dizolimi Oleh Serumpun Kekuasaan

Kamis, 25 April 2024



Ket Foto : Ditengah pakai baju batik adalah saksi ahli Hukum Pidana Prof Jamin Ginting, SH dan disamping kirinya adalah saksi Ahli Forensik. Dr R Hutahaean, SpF, SH.MH usai memberi pendapat berfoto didepan meja hijau PN Simalungun bersama Kurpan Sinaga, SH dan para Advocaatnya.



Simalungun: Sumutpos.id- Jaksa Penuntut Umum Barry Sugiarto, SH dari Kejari Simalungun Senin 22/04 menuntut terdakwa Kurpan Sinaga, SH, pria 51 Th, pekerjaan Advocaat, warga Parik Sabungan Kec Dolok Pardamean Kab Simalungun selama 4 Bl karena dakwaan pidana "penganiayaan mengakibatkan orang luka" melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana. Barang bukti 1 Bh video Casette berdurasi 4,5 menit milik "korban" Julianto Malau. Melalui PHnya "terdakwa" nyatakan pledoi. Wajah "terdakwa" Kurpan terlihat geram dan kecewa berat setelah mendengar tuntutan JPU ini karena dia merasa dizolimi oleh serumpun Penguasa Hukum di Kabupaten Simalungun ini. Bukti rekaman video yang dibuatnya atas peristiwa "jatuh berakibat luka" dibawah lutut kanan "korban" Julianto Malau" ditolak oleh Polisi, ditolak oleh Jaksa dengan alasan" nanti saja di persidangan" kemudian dipersidangan ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan validitas.  Diluar sidang Kurpan bilang kepada para kru media, "Saya dizolimi oleh serumpun Penguasa Hukum yang tidak Prefessional"

Peristiwa penzoliman secara berjenjang yang dialami Kurpan dimulai pada awal Januari 2022, hampir pukul 18.00 WIB sore di jalan masuk ke taman wisata BIS di Simarjarunjung ketika Kurpan melihat ada sebuah alat berat pengeruk tanah Excavator masuk ke areal tanah kliennya yang sedang bermasalah soal kepemilikan tanah itu lalu memerintahkan agar supir excavator mengeluarkan excavator itu keluar dari tanah bermasalah sambil "terdakwa" memasuki areal. Mendengar itu datanglah saksi "korban" Julianto Malau ke areal lalu Kurpan mengusir Julianto tetapi Julianto menolak. Terjadilah pertengkaran saling claim memiliki tanah itu berlanjut terjadi saling dorong bertujuan agar "korban" keluar dari areal dan "korban Julianto" juga mendorong agar  Kurpan keluar dari areal tanah bermasalah. Dorong mendorong itu tak mengakibat apa-apa pada tubuh kedua pihak. Dakwaan penganiayaan timbul setelah saksi "korban"Julianto menyerang Kurpan dengan menggenggam kuat dengan dua tangan baju Kurpan dan sambil bergantung berusaha membanting tubuh Kurpan ketanah. Secara reflek Kurpan menepis tangan Julianto  tetapi gagal karena Julianto tak melepaskan tangannya. Akibatnya Julianto terjatuh ke tanah sambil menarik badan Kurpan. Sama-sama jatuh tetapi  badan Julianto dibawah badan Kurpan. Sesudah itu "terdakwa" dan "korban"  berdiri lalu berpisah. Inisiatif serangan Juliantolah yang membuat dia terjatuh ke tanah. Kurpan dituduh menjatuhkan Julianto padahal tuduhan itu tak pernah dilakukan Kurpan. Terbalik. Kedua belah pihak saling memvideokan peristiwa itu. Sepenglihatan Kurpan, Julianto tak mengalami luka. Kurpan pulang ke rumahnya sedang Julianto masih bisa pergi memanen/maragat tuak dan menjualnya dirumah sampai pukul 19.00 WIB. Kemudian Julianto melapor ke Polres bahwa dia dianiaya Kurpan.

Pukul 22.00 WIB Polisi membawa "korban" Julianto ke RSUD Rondahaim di Raya untuk membuat Visum yang dibuat oleh Dr Tri Jusniarti yang menyatakan bahwa "korban" Julianto Malau mengalami luka berdarah sepanjang 8 CM dan lebar 3 CM pada bagian bawah lutut kanan berakibat tak bisa bekerja beberapa hari. Di persidangan melalui PHnya Drs. Romulus Sitindaon, SH Dkk meragukan hasil visum karena tak masuk akal korban yang jatuh ke tanah  dengan punggung dan paha menyentuh tanah dan memakai sepatu bot tetapi mendapat luka yang titik lukanya tak jelas disebutkan dimana.  Cuma disebut luka dibawah lutut kanan. Visum tidak dilengkapi foto titik luka. Kata Kurpan "Ini Visum primitif".  "Kalau bukti visum tidak jelas, ariflah Jaksa memutuskan menggugurkan status tersangka kepada Kurpan karena tak ada unsur kebenaran materil " jelas terdakwa Kurpan kepada kru media diluar sidang. Dr Tri Jusniarti dipanggil ke persidangan untuk dimintai keterangan bagaimana timbulnya Visum lebih banyak menjawab tidak tahu dan tidak ingat lagi sampai Advocaat R Sitindaon kesal dan tanya "entah kamu bukan dokter". Tapi Hakim Ketua bilang, " pasti dokterlah". Menjawab pertanyaan PH R Sitindaon, Dr Tri bilang" korban datang  terpincang-pincang dan lukanya berdarah.  Maka PH terdakwa bilang, "Tak logika luka pukul 18.00 WIB masih berdarah sampai pukul 22.00 WIB". Dr Tri terdiam. Penjelasan Kurpan kepada kru media bahwa dia dizolimi secara berjenjang sejak dari Polsek yang menolak bukti peristiwa yang divideokannya, kemudian di Kejaksaan pun bukti video peristiwa yang direkamnya ditolak. Di persidanganpun Majelis Hakim  menolak bukti video peristiwa itu.Serumpun institusi Hukum ini terkesan menghempang Kurpan mencari keadilan. Terkesan macam "peradilan sesat". PENDAPAT SAKSI AHLI TAK DISEBUT

Tak tanggung kaliber saksi ahli yang dihadirkan  Kurpan untuk  memberi pendapat atas tuduhan "terdakwa" telah melakukan penyiksaan. Untuk peristiwa pidananya ditampilkan Professor Jamin Ginting, SH Advocaat kaliber Nasional dan Dosen Tetap Univ Pelita Harapan di Jakarta dan di beberapa universtas lain. Prof Jamin memberi pendapat bahwa yang berinisiatif menyerang adalah "korban" yaitu dengan menarik kuat-kuat baju Kurpan dan berusaha menjatuhkan Kurpan ke tanah. Sedang Kurpan secara reflek menepis tangan Julianto tetapi gagal. Julianto jatuh dan Kurpanpun  jatuh karena tarikan korban. Karena  inisiatif  penyerangan adalah "korban" maka seharusnya "korban"lah yang jadi terdakwa. Apalagi "terdakwa"pun ikut jatuh karena tarikan korban dan tubuhnya diatas tubuh korban. Demikian sangat cepat dan sederhana dan masuk akal keadilan pendapat saksi ahli Prof Jamin Ginting.  Akan tetapi Jaksa tak menanggapi pendapat saksi ahli dalam Surat Tuntutannya. Satu katapun tidak ada "Sedih, Jaksa masih belum professional" kata Kurpan diluar sidang. Pendapat saksi ahli Forensik dari RSUD Kodya P Siantar Dr R Hutahaean, Sp F, SH, MH yang Dosen UMI Medan dan beberapa Universitas di Sumut memberi pendapat bahwa dokter pembuat Visum harus bersertifikat Hak Visum dan berijin.(waktu itu Dr Tri belum punya tapi diberi ijin atasannya). Visum harus jelas menentukan titik luka dengan bukti foto. ( Dr Tri tak menyertakan foto forensik pada Visum). "Hare genne masih ada visum tanpa foto"? kata Kurpan kepada wartawan. Saksi ahli katakan beliau harus meneliti foto peristiwa untuk memastikan benda apa yang mengakibatkan luka. Tapi Hakim Ketua menimbang pendapat secara lisan dari saksi ahli sudah cukup bagi Majelis Hakim. Pendapat saksi ahli forensik terkenal inipun tidak ditulis satu katapun dalam surat tuntutan Jaksa.Sepatah katapun tidak. Terkesan JPU kuatir tuntutannya ditolak Majelis Hakim. Majelis Hakim diketuai oleh Rori A Sormin, SH dengan Hakim Anggota Widi Astuti, SH. Terdakwa didampingi Kurpan mengeluh lagi, "kalau pendapat 2 saksi ahli tak dipertimbangkan kemana lagi pencari keadilan hukum pergi. Kalau seorang Advocaat  bisa ditaklukkan "a buse of power" konon masyarakat awam". Quo vadis justice ??

( RED/SPID-Opg)