Diduga Melanggar Hukum, Aliansi Gerak Tutup TPL Desak Menteri LHK Cabut Izin PT TPL -->
AYO IKUTI PROTOKOL KESEHATAN - CEGAH PENYEBARAN COVID-19 DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

Pengikut


Iklan

Diduga Melanggar Hukum, Aliansi Gerak Tutup TPL Desak Menteri LHK Cabut Izin PT TPL

Rabu, 14 Juli 2021

(Image/Gambar) : Terdapat Tanaman eukaliptus dalam izin PT TPL berada di kawasan APL. Foto koordinat N2°12’57.79” E98°50’12.85” pada tanggal 07 Juni 2021.

Toba - Sumutpos.id :
Aliansi  Gerak Tutup  TPL mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menutup operasional PT  Toba Pulp Lestari (PT TPL). Investigasi  KSPPM,  AMAN  Tano Batak,  bersama Jikalahari  menemukan operasional  PT  TPL dinilai bertindak secara illegal,  melanggar peraturan  perundang-undangan, merusak  lingkungan hidup  dan  merampas  hutan  tanah  adat masyarakat  adat.   “Kita meminta Menteri LHK  untuk tegas  menyelesaikan persoalan PT TPL di  tanah Batak. Sangat banyak kerusakan  lingkungan  dan kerugian bagi  masyarakat adat batak  yang  disebabkan oleh operasional  PT  TPL,”  kata  Roki Pasaribu dari KSPPM. Sejak  2-16  Juni  2021  KSPPM,  AMAN  Tano Batak, bersama  Jikalahari  melakukan  investigasi  di sektor  Tele,  Habinsaran,  Padang  Sidempuan  dan  Aek  Raja  mendapatkan  temuan  lapangan dan dugaan  pelanggarannya:


Pertama,  areal  kerja  atau konsesi  PT  TPL  illegal.   Konsesi PT  TPL berada  di atas  Kawasan  Hutan dengan Fungsi  Lindung  (HL), Fungsi  Hutan  Produksi  yang  dapat  dikonversi (HPK), dan Areal Penggunaan  Lain (APL)  tidak dibenarkan merujuk pada UU 41 Tahun 1999  tentang  Kehutanan sebagaimana telah  diubah  dengan UU No 11 Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja. 


Hasil  overlay  GIS tim  Jikalahari mencatat kawasan  Perizinan Berusaha  Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau  IUPHHKHT  PT TPL  dengan fungsi kawasan hutan menunjukkan areal  PT  TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung  (HL)  seluas  11.582,22  hektar, Hutan Produksi Tetap  (HP)  122.368,91 hektar, Hutan Produksi Terbatas  (HPT)  12.017,43 hektar, Hutan Produksi  yang  dapat Dikonversi  (HPK)  1,9 hektar  dan  Areal  Penggunaan Lain (APL)  21.917,59  heKerja


Dari luas  izin atau  legalitas  PT. TPL seluas  188.055  hektar, setidaknya  28  persen  atau  52.668,66  hektar adalah ilegal karena berada di atas  HL, HPK  dan  APL.   


Kedua,  PT  TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan Lindung di konsesinya.   Areal yang  seharusnya menjadi kawasan  yang  dilindungi, justru  diubah PT TPL  menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman eukaliptus  yang  berdekatan  dengan tanaman hutan alam. Tim investigasi tahun  2021  menemukan telah  ditanami eukaliptus  Sekitar  318  meter  dari jarak penebangan tahun 2017. Artinya,  tanaman eukaliptus  yang  ditemukan tim  Investigasi  2021 bekas  kayu alam  yang  ditebang  oleh  PT TPL.    Penebangan hutan alam  kemudian  ditanami eukaliptus  bertentangan  dengan  UU  No  18  Tahun 2013 sebagaimana diubah dalam  UU  No  11  Tahun  2020  tentang  Cipta  Kerja Pasal 36  No  12  yang  mengubah ketentuan Pasal   82  ayat  3  huruf  a,  b dan  c. 


Ketiga,  PT  TPL  melakukan  penanaman di dalam konsesinya yang  berada dalam  fungsi APL. Perusahaan  kehutanan  ini  seharusnya  mengajukan  enclave  untuk  mengeluarkan  areal  dengan  fungsi APL dari  izin  konsesi  mereka.  Areal  kerja  PT  TPL  di  dalam  APL—Areal  Penggunaan  Lain  umumnya berada  di  luar  kawasan  hutan--bertentangan  dengan  UU  Kehutanan  maupun UU  Pokok Agraria yang pada  prinsipnya  APL  berada  di  luar  kawasan  hutan,  dan  tidak  boleh  ada  izin  atau  perizinan  berusaha kawasan  hutan di  APL.  Wewenang  mengelola APL yang  berasal dari kawasan  hutan  menjadi kewenangan  Menteri ATR/BPN.    


Keempat,  PT  TPL  memanfaatkan  pola  Perkebunan  Kayu Rakyat  (PKR)  untuk  menanam  eukaliptus  di luar  izin  konsesinya  demi  memenuhi  bahan  baku  produksi.  Pola PKR  ini memanfaatkan areal milik masyarakat yang  dikerjasamakan  dengan  PT  TPL untuk ditanami eukaliptus.   Dalam kehutanan dikenal  pola  kerja  sama  antara  masyarakat  dengan  korporasi  berupa  Kemitraan Kehutanan  merujuk  pada Permenhut 39 Tahun 2013 tentang pemberdayaan  masyarakat setempat melalui  kemitraan  kehutanan.  


Lalu,  pada  2016  terbit  P.83  Tahun  2016  tentang  Perhutanan  Sosial  jo  P9 Tahun 2021  tentang  pengelolaan  perhutanan  sosial.  Ringkasnya,  kerja  sama  PT  TPL  dengan  pola  PKR dalam  areal  konsesinya  bertentangan  dengan  aturan  kehutanan.    


Kelima,  PT  TPL  menebang  kayu hutan  alam  jenis  Kulim  dan  Kempas  di dalam  konsesinya.  Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam, termasuk jenis  kulim  dan kempas,  yang  diperuntukkan untuk areal penanaman bibit  eukaliptus  baru  di konsesi  PT  TPL  sektor  Habinsaran.   Jenis  kayu Kulim  dan Kempas  termasuk pada tanaman yang  dilindungi  sesuai  dengan PermenLHK  No 20  Tahun  2018 jo.  PermenLHK  No  106  Tahun  2018  tentang  perubahan kedua atas  PermenLHK  20 Tahun  2018  tentang  Jenis  Tumbuhan  dan Satwa  yang  Dilindungi, di mana Kempas  dikeluarkan dari jenis  tumbuhan yang  dilindungi.   


(Image/Gambar) : Seorang Bapak di Humbang Hasundutan sedang mengambil getah kemenyan. Tanaman ini mulai punah karena diduga dibabat habis oleh PT TPL.

Keenam,  Tanpa  pengukuhan  kawasan  hutan  Legalitas  yang  illegal  dan  tidak  legitimate  atau  tidak diakui masyarakat adat seharusnya  segera dikoreksi  oleh pemerintah berupa  melakukan pengukuhan kawasan hutan.    Konsesi  PT. Toba  Pulp  Lestari (TPL)  diberikan berdasar peta  TGHK  (Tata Guna  Hutan Kesepakatan) 1982. Peta  TGHK  ini  sifatnya memberikan arahan alokasi kawasan hutan dan fungsinya.  Statusnya dalam  konteks  tata  perencanaan  kehutanan berupa  ‘penunjukan’ yang  kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan  Menteri.  Peta TGHK  1982  belum  masuk ke  status  penunjukan.   



Ketujuh,  Banyak fasilitas  umum seperti  kantor  pemerintah,  perkampungan,  jalan  lintas,  pemakaman, kebun  karet,  sawit,  kopi  hingga  sawah  berada  dalam  konsesi  PT  TPL  sektor  Padang  Sidempuan. Sebagian besar  izin  PT  TPL  di sektor  Padang  Sidempuan telah  ditempati masyarakat.  Izin  yang  berada di Desa  Pangkal Dolok Lama,  Kecamatan Batang  Onang  ini  sebagian besar  telah menjadi  kawasan desa  yang  diatasnya terdapat kebun masyarakat,  fasilitas  umum, Jalan Lintas  Sosopan, pemukiman masyarakat—hampir 1 kecamatan Batang  Onang  dan seluruh kawasan Desa Pangkal Dolok Lama berada  dalam  izin PT  TPL  sektor  Padang  Sidempuan—bahkan Kantor  Bupati Tapanuli Selatan berada di dalam  izin konsesi yang  dalam  kawasan APL. Temuan investigasi,  PT  TPL  bekerja  secara  tidak  sah  (illegal),  berada  dan  beroperasi  di  atas  kawasan yang  ditetapkan  sebagai  hutan  lindung,  HPK  dan  APL.  Selain  itu,  pemberian  izin  PT  TPL  yang  merujuk pada  TGHK dijalankan  dengan  proses  ketidakpatuhan  terhadap  amanat  pengukuhan  kawasan  hutan, karena  tidak  melibatkan  masyarakat  adat  di  Kawasan  Danau  Toba.  


Hal  tersebut bertentangan dengan  peraturan  Kehutanan  dan  Agraria  di  mana PT  TPL seharusnya dinyatakan  telah  melakukan perbuatan  melawan hukum yang berakibat pada  tindakan  pidana dan pencabutan  perizinan berusaha.


 “Dampak dari  legalitas  yang  illegal  sebabkan  konflik  dan  kekerasan  terhadap  masyarakat  adat, lingkungan  hidup  rusak,  ekonomi  masyarakat  hancur,  potensi  ledakan  konflik horizontal,  hingga pembiayaan  yang  tidak  layak  diberikan  pada  P  TPL,”  kata  Made  Ali,  Koordinator  Jiberusaha. Tentunya temuan Investigasi  bersama  KSPPM  dan Aman Tano Batak  menjadi  fakta  kuat  agar  pemerintah  dapat mengevaluasi  izin  konsesi  PT  TPL,  bahkan  menutupnya. 


” Konflik  sosial  serta  intimidasi  dan  kekerasan  PT  TPL  terhadap  masyarakat  adat  begitu  besar. Sepanjang  2020-2021  saja,  setidaknya  terjadi  8  kali  konflik  dan  menyebabkan  korban  12  orang  dan  9 orang  terlapor  polisi. 


 Selain  itu,  PT  TPL  juga  mengintimidasi  3  komunitas  (Huta/Kampung)   untuk tidak  bercocok  tanam di  atas  wilayah  adatnya  dan  merusak  tanamannya. Roganda,  ketua  Aman Tano Batak  menyebutkan,  kehadiran  PT  TPL tak  hanya sebabkan konflik dan kekerasan  terhadap  masyarakat.  Penghancuran  hutan  yang  tadinya  hutan  alam  menjadi  tanaman eukaliptus  berdampak  pada  kerusakan  lingkungan.  Tidak  hanya   untuk  masyarakat  sebagai  pemilik hutan,   tapi  juga  berdampak  ke  daerah  lainnya.  Seperti  yang  terjadi   Huta  (kampung)  Napa, Kecamatan  Sipahutar,  Kabupaten  Tapanuli  Utara  setelah  penghancuran  hutan  mereka  yang dilakukan  oleh  PT  TPL  menyebabkan   sumber  air  minum “Aek  Nalas” yang  peruntukannya  untuk sumber  air  minum masyarakat  di desa dan juga  kecamatan  Sipahutar  membuat  air  sering  berlumpur dan  kuning.


Kasus  lain  seperti  Huta  Natinggir,  Nagasaribu,  dan  Natumingka,  kerusakan  hutan  karena  penebangan hutan  alam  oleh PT  TPL  berdampak  pada sulitnya  masyarakat  mendapatkan  air minum dan  irigasi untuk  persawahan.  Kesulitan  air  menyebabkan  sawah  berubah  fungsi.


“Bukan  hanya  lingkungan,  ekonomi  masyarakat  adat  batak  juga  mengalami  penurunan serius. Sebelum  kehadiran  PT  TPL,  masyarakat  di  kawasan  Danau  Toba  hidup  dari  hasil hutan,  berladang, beternak  dan  bersawah,” kata  Roganda.  Namun saat  ini,  sumber  mata  pencaharian  masyarakat  adat di  wilayah  konsesi  mengalami  penurunan. “PT  TPL menghancurkan  lingkungan  hidup dan  memiskinkan  masyarakat  adat. Karena  masyarakat adat  batak  bergantung  pada  hutan  alam  yang dirusak  oleh  PT TPL,”  sambung  Roganda. 


Dalam seminar lewat aplikasi zoom pagi ini jam 10.00 Selasa,  (14/07/2021), aliansi Gerak  Tutup  TPL  merekomendasikan  pemerintah  untuk  mencabut izin  PT  TPL  di  Kawasan Danau Toba dan segera lakukan  pengukuhan  kawasan  hutan dengan  melibatkan  masyarakat  adat dalam  semua proses  pengukuhan  kawasan  hutan, demikian rilis berita yang diterima Redaksi Sumutpos.id. (Red-SP.ID/NM)