Selamat Jalan Pelestari Budaya Batak, P. LEO JOOSTEN OFM CAP -->
AYO IKUTI PROTOKOL KESEHATAN - CEGAH PENYEBARAN COVID-19 DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI

Iklan

Selamat Jalan Pelestari Budaya Batak, P. LEO JOOSTEN OFM CAP

Minggu, 28 Februari 2021

(Image/Gambar): Pastor Leo Joosten Ginting Suka, OFM Cap berdiri di depan Gereja Inkulturatif Karo, Berastagi-Sumut

P. Siantar - Sumutpos.id :
Berjumpa dengan nya selalu ceria, hangat disertai senyuman nya yang khas dan Tulus. Perawakannya tinggi besar dengan kulit putih, khas seorang Boladda. 


Sebagai mantan pejudo profesional sebelum menerima panggilan Tuhan sebagai misionaris dan menjadi Imam Katolik, tubuhnya kuat dan kokoh. Dia lah P. Leo Joosten Ginting Suka, OFM Cap. Meski dengan perawakan seorang atlit profesional seperti itu, hatinya sangat lembut. Siapa saja yang minta tolong dengan nya tak pernah pulang dengan tangan kosong. 


Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Sumatera Utara, minat tentang Budaya Batak secara khusus sudah tumbuh di hati dan pikiran Pastor Leo. 


Dia sungguh mempelajari budaya Batak sembari melayani umatnya yang termarjinalkan di pelosok- pelosok negeri yang sering harus ditempuh dengan berjalan kaki berjam jam. Bahkan nama kampung nya saja para pembaca bisa saja belum pernah dengar, tapi P. Leo sudah ke sana berkali kali. Sebut saja misalnya Desa Bungus, Sipagabu, atau Siantar Sitanduk di Kecamatan Pakkat kabupaten Humbang Hasundutan sana.  


Mempelajari secara mendalam budaya Batak bagi Pastor kelahiran Belanda ini sungguh asik dan benar benar menjadi passion nya. Pastor Leo mencatat dan membuat dokumentasi lengkap. Minat dan passionnya terhadap budya Batak itu termanifestasi baik dalam karya tulisnya maupun karya karya arsitektur kultural nya.


Pastor Leo Joosten Ginting Suka, OFM Cap, mengekspresikan rasa cintanya yang mendalam terhadap budaya Indonesia secara umum dan Budaya Batak Toba dan Karo secara khusus. Pastor yang lahir di Nederwetten, Belanda 9 September 1942 dan memulai pelayanannya di Indonesia sejak 1971 ini menulis buku-buku, antara lain: Tanah Karo Selayang Pandang (2014), Kamus Indonesia – Karo (2006), Kamus Indonesia – Batak Toba (2003), Samosir, Silsilah Batak (1996), Samosir Selayang Pandang (1993), Samosir The Old Batak Society, edisi Bahasa Inggris (1992).


Selain itu, bagi Pastor yang telah dikabulkan permintaannya menjadi WNI pada 1994, dan secara resmi pula ditabalkan bermarga Ginting Suka dan bere-bere Sitepu oleh masyarakat Suka 1999 ini, sangat concern terhadap pelestarian nilai nilai budaya dalam dengan mendorong dan mendukung pendirian destinasi-destinasi budaya, seperti: Gereja Katolik Inkulturatif Karo di Berastagi (2005) dan Inkulturatif Toba di Pangururan (1997), Museum Pusaka Karo di Berastagi (2013), merestorasi Rumah Adat Karo (2013) maupun dalam jerih payahnya mendirikan Museum Batak Toba “Bona Pasogit” di Pangururan, Samosir (1997). 


Semua ungkapan rasa cintanya itu, sangat dihargai oleh pemerintah Indonesia sehingga dia memperoleh penghargaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada malam Penghargaan Anugerah Kategori Budaya, Rabu 26 September 2018 di Gedung Insan Berprestasi, Jakarta. Selain itu, Pastor Leo juga pernah memperoleh Penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung 2015. 


Kini, Pastor misionaris terakhir dari Belanda ke Tanah Batak itu telah pergi. Subuh tadi, pukul 02.48 Pastor Leo yang mengajarkan tentang mencintai kebudayaan sendiri itu telah menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat Jalan Pater Leo. Warisan karya-karya Budaya mu akan tetap berbuah di Tanah Batak. 

(Red-SP.ID/NM)